HARI PEREMPUAN DUNIA 2021
Aktivis Perempuan Di Kota Serang Soroti Kekerasan Pekerja Perempuan Di Masa Pandemi Covid-19
Keamanan SELASA, 09 MARET 2021 , 01:20:00 WIB | LAPORAN: JEJEN MUHAMAD
Sejumlah aktifis perempuan di Kota Serang memperingati hari perempuan dina/JEN
RMOLBANTEN Aktivis perempuan dari berbagai elemen organisasi mahasiswa menggelar aksi refleksi peringatan Internasional Women's Day (IWD) di depan Kampus UIN Banten, Senin (8/3).
Para aktivis perempuan ini menyoroti berbagai problematika perempuan mulai dari kekerasan serta pelecehan perempuan, hingga kemelut UU Cipta Kerja bagi kaum perempuan.
Koordinator aksi, Siti Maesaroh mengatakan, sepanjang pandemi Covid-19 kesehatan dan keselamatan kerja perempuan rentan selain beban kerja bertambah berat, perempuan juga berhadapan dengan kekerasan.
"Setiap perempuan pekerja baik itu domestik maupun ranah produksi, selama pandemi mayoritas perempuan di waktu yang sama harus melakukan pekerjaan berhadapan dengan kekerasan serta tidak ada perlindungan maksimal," ujar Siti Maesaroh.
Ketua Pemberdayaan Perempuan Kumala itu menegaskan, lapangan pekerjan yang diperuntukan bagi perempuan adalah lapangan kerja dengan upah rendah dan sistem kerja yang tidak layak.
"Tidak ada jaminan kesehatan reproduksi diabaikan dan sarat dengan pelecehan seksual, seperti sektor garmen, pekerja rumah tangga, pekerja rumahan, pekerja toko, dan pekerja sektor krearif," katanya.
Maesaroh menjelaskan, dampak pandemi sebagian besar perempuan kehilangan pekerjaan, kehilangan penghasilan serta tidak memiliki kepastian kerja yang berkelanjutan.
Disisi lain, kata Maesaroh, seperti yang dicatat oleh Komnas Perempuan bahwa angka kekerasan terhadap perempuan meningkat dimasa pandemi.
"Sistim kesehatan yang tidak berfungsi memberikan perlindungan yang maksimal dimasa pandemik, sehingga banyak perempuan terpaksa mengabaikan kesehatan mereka agar bisa bertshan dan melanjutkan hidup," ungkapnya.
Persoalan lain, sambung Maesaroh, sistim ekonomi politik pemerintah yang tidak melindungi dan menghargai kerja perempuan sebuah sistim yang mengontrol tubuh perempuan, bahkan dipaksakan dengan cara kekerasan agar bida terus mendaparkan tenaga kerja yang murah dan gratis.
Fatalnya, Tegas Maesaroh, pemerintah dan DPR justru mengabaikan kepentingan perempuan dengan mendahulukan kepentingan penguasa ditengah kelemut pandemik. Terbukti RUU Penghapusan Kekerasan Perempuan (PKS) sempat didepak dari Prolgenas 2020.
"Hanya saja alasan mengapa DPR dan pemerintah tidak mau mengesahkan RUU PKS dan RUU Perlindungan PRT? Mereka tidak mau mengakui kekerasan seksual dan pekerja rumah tangga sebagai pekerja," katanya.
Lahirnya UU Cipta Kerja, bagi Maesaroh , memastikan tenaga kerja murah dan eksploitasi atas tubuh perempuan tetap terjaga, keberpihakan pemerintah dan DPR kepada penguasa semakin nyata terlihat disaat pandemik.
"Bukan hanya dengan mengesahkan UU Cipta Kerja, tapi produk UU yang dihasilkan selama pandemik terutama yang menyengkut kaum buruh bentuk kepentingan penguasa dan pengusaha," terang Maesaroh.
Dikatakan Maesaroh, pemerintah harus mengakui Pekerja Rumah Tangga sebagai pekerja dengan mengesahkan RUU PPRT, serta pemerintah harus mencabut UU Cipta Kerja.
"Kita juga mendesak agar ratifikasi konvensi ILO 190 beserta rekomendask 2016 agar semua pekerja bebas dari kekeraahan dan pelecehan termasuk kekerasan berbasis gender," pungkasnya. [ars]
Komentar Pembaca
Negara India Lagi Banjir Corona, 135 Warganya Ju ...
JUM'AT, 23 APRIL 2021
Bertemu Mahasiswa Asal Papua, Ini Yang Disampaik ...
KAMIS, 22 APRIL 2021
Kapolri: Dasar Larangan Mudik, Keselamatan Rakya ...
KAMIS, 22 APRIL 2021
Cegah Pemudik, Satlantas Polres Tangsel Lakukan ...
KAMIS, 22 APRIL 2021
Mudik 2021 Dilarang, Ini Penjelasan Polri
KAMIS, 22 APRIL 2021
Banyak Mudhoratnya, Gubernur WH Larang Masyaraka ...
RABU, 21 APRIL 2021