Dekan FSH: Penunjukan Pj Kepala Daerah Memunculkan Kerumitan Hukum Dan Etik
Al Muktabar Rangkap Sekda Dan Penjabat
Politik KAMIS, 12 MEI 2022 , 14:21:00 WIB | LAPORAN: FIRMANSYAH
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum (FSH) UIN Jakarta, Tholabi Kharlie/Net
RMOLBANTEN Lima Penjabat (Pj) kepala daerah untuk Provinsi Banten, Gorontalo, Bangka Belitung, Sulawesi Barat, dan Papua Barat telah resmi dilantik Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian pada Kamis (12/5).
Seiring dengan resminya pelantikan lima Pj, hingga saat ini aturan teknis penunjukan Pj Kepala Daerah tak kunjung dibentuk pemerintah.
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum (FSH) UIN Jakarta, Tholabi Kharlie, mengatakan potensi kerumitan penunjukan Penjabat Kepala Daerah bakal muncul di publik lantaran tidak ada aturan teknis atas penunjukan Pj ini.
"Ketiadaan aturan teknis dalam penunjukan Pj Kepala Daerah ini akan memunculkan kerumitan hukum. Apalagi terkait dengan tindak lanjut atas putusan MK," ujar Tholabi dalam keterangannya di Jakarta, Kamis (12/5).
Dalam pertimbangan Putusan MK No 67/2021 Mahkamah menyebutkan proses pengisian kekosongan jabatan kepala daerah harus dimaknai dalam ruang lingkup pemaknaan secara demokratis sebagaimana tertuang dalam UUD NRI 1945.
Tholabi menyebutkan aturan mengenai penunjukan Pj Kepala Daerah telah diatur dalam Pasal 174 ayat (7) UU No 10/2016 tentang Pilkada, Pasal 19 ayat (1) UU No 5 Tahun 2014 tentang ASN serta Pasal 130 ayat (3) dan Pasal 131 ayat (4) PP No 6 Tahun 2005 tentang Pengesahan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah mengatur mengenai kriteria siapa yang dapat mengisi Penjabat Kepala Daerah termasuk kriteria Jabatan Pimpinan Tinggi (JPT).
"Pelbagai aturan tersebut belum bicara soal mekanisme demokratis sebagaimana yang telah diingatkan oleh MK," kata Tholabi.
Masalah lainnya, Tholabi menyebutkan aturan yang saat ini tersedia juga tidak mengatur larangan rangkap jabatan bagi Penjabat Kepala Daerah.
Menurut dia, ketiadaan larangan rangkap jabatan akan menimbulkan masalah serius dalam tata kelola pemerintahan.
"Yang paling fatal, tidak ada larangan rangkap jabatan. Ada masalah efektivitas dan soal etika penyelenggara pemerintahan. Ingat, ini masa jabatan Penjabat Kepala Daerah cukup lama," tegasnya.
Menurutnya, jika tidak ada pengaturan soal larangan rangkap jabatan akan memunculkan kerancuan dalam efektivitas pemerintahan.
"Apalagi dalam kasus Banten, Penjabat Kepala Daerah berasal dalam satuan kerja yang sama. Di sini urgensi pengaturan lebih teknis dan detil dengan mempertimbangkan sisi demokratis dan etis penyelenggaraan pemerintahan," tandasnya. [ars]
Komentar Pembaca
Kabar Duka! Politisi Senior Golkar Fahmi Idris T ...
MINGGU, 22 MEI 2022
Pemilu 2024 Masih Pakai Kotak Kardus, Dasco: Nan ...
SABTU, 21 MEI 2022
Hasto Soroti Koalisi Indonesia Bersatu: Kontesta ...
SABTU, 21 MEI 2022
Innalillahi, Viryan Azis Mantan Anggota KPU Meni ...
SABTU, 21 MEI 2022
Tanggapi Unggahan Kaos Oblong Oleh Cak Imin, Gus ...
JUM'AT, 20 MEI 2022
Natalius Pigai: Bukan Singapura Yang Islamphobia ...
JUM'AT, 20 MEI 2022